Menyimak Indonesian Lawyer Club kemarin malam, saya agak tergelitik juga dengan judulnya yaitu “
Sudden Death Jokowi Vs Prabowo”. Nggak tahu kenapa Bung Karni Ilyas memilih judul itu untuk acaranya. Karena kalau tidak salah menurut kamus Inggris-Indonesia-nya anak saya,
sudden death itu berarti mati mendadak. Apalagi jika itu tentang
Sudden Death Syndrome, sebuah sindroma kematian mendadak yang mengagetkan dan mengerikan karena tidak disebabkan oleh kejadian penyakit alamiah. Wah.. ngeri juga ya, kalau Pilpres kali ini adalah
Sudden Death.. :-)
Tetapi mengintip twitter sang "pemilik" ILC tersebut, nampaknya yang dimaksud
Sudden Death tersebut hanyalah ingin menegaskan bahwa pertarungan pilpres kali ini adalah pertarungan “habis-habisan”. Pertarungan pertama dan terakhir, sehingga tidak ada putaran kedua. Seperti kicauan beliau tertanggal 19 Mei 2014 yang tertulis “Akhirnya hanya dua pasangan yang maju ke pilpres. Ibarat pertandingan, pilpres akan Sudden Death. Tak ada putaran kedua””.
Menurut saya, memang
sudden death. Sudden, karena pilpres kali ini penuh kejadian mendadak. Drama yang mengagetkan. Tengoklah ARB yang tanggal 18 Mei 2014 bertemu Megawati dan seolah merapat ke Jokowi, tiba-tiba pagi hari berikutnya publik dikejutkan dengan keputusannya yang mendukung Prabowo-Hatta. Meski menurut Idrus Marham hal itu dilakukan ARB setelah
istikharah dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Detik-detik akhir pendaftaran pasangan capres-cawapres memang penuh dengan kejutan.
Tokoh-tokoh kunci malah "mbalelo" dari partai-nya
Ini salah satu yang seru, lucu dan tentu saja mengagetkan.. Tokoh-tokoh senior partai malah "mbalelo" dari partainya dalam dukung-mendukung capres. Berikut adalah beberapa daftar tokoh senior partai yang memiliki sikap berbeda dengan partainya.
- Mahfud MD, meninggalkan PKB dan malah menjadi Ketua Tim Sukses Prabowo. Demikian juga dengan "Profesor" Rhoma Irama.
- Luhut Pandjaitan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, meninggalkan partainya dan mendukung Jokowi. Demikian juga dengan sejumlah kader muda Golkar seperti Agus Gumiwang Kartasasmita, Indra J piliang, Poempida Hidayatullah dan Meutya Hafidz.
- Wanda Hamidah yang berseberangan dengan PAN dan mendukung Jokowi. Padahal ketua umumnya menjadi Wapres Prabowo.
- Harry Tanoe, "wakil presiden" yang meninggalkan sang "presiden" Wiranto dan berbalik mendukung Prabowo.
- dan masih banyak lagi..
Dan anehnya, entah mengapa tidak ada tindakan tegas dari masing-masing partai induk mereka. Apakah salah satu dari manifestasi strategi "
cari aman" ? Nggak tahu juga ya... hehehe...
Serunya Perang Bintang Para Jenderal
Para Jendral pun ber"perang" dalam pilpres 2014 ini. Itu yang seringkali disebut dengan perang bintang. Tengoklah para Jenderal purnawirawan yang berada di kubu yang berbeda dan saling adu cerita. Pada acara ILC kemarin malam, Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Kostrad berusaha melakukan klarifikasi terhada isu kudeta Prabowo di tahun 1998. Beliau berulang kali mengatakan kemustahilan kudeta dalam rapat yang dilakukan pada tanggal 14 Mei sementara kerusuhan sudah berlangsung sejak sehari sebelumnya yaitu tanggal 13 Mei 1998. Ia juga menggarisbawahi bahwa Prabowo adalah seorang patriot sejati dan bukan pengkhianat bangsa.
Di samping Kivlan juga muncul nama-nama para Jendral yang mendukung Prabowo seperti Panglima TNI Laksamana (Purn) Widodo AS, mantan Menteri Penerangan Letnan Jenderal TNI (Purn) Yunus Yosfiah, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Cornel Simbolon, dan MayJen TNI (Purn) Nachrowi Ramli. Sementara itu di kubu Jokowi ada juga banyak Jenderal yang berpengaruh di eranya. Sebut saja Wiranto, (Panglima Tni 98-99), A.M. Hendropriyono (Komandan Kondiklat TNI AD, Mantan Kepala BIN 2001-2004), dan Sutiyoso ( Wakil Komandan Jenderal Kopasus,1992).
Media pun "terbelah menjadi dua"
Tidak dipungkiri dan semakin terlihat bahwa media-media
mainstream-pun sepertinya terbelah menjadi dua dalam porsi pemberitaan capres. Semakin tajam perbedaanya, sehingga seolah kita bisa melihat mana media pro-Jokowi dan mana media pro-Prabowo. Lihat saja Metro TV versus TV-one. Menurut saya, bobot pemberitaan di dua stasiun televisi tersebut akhir-akhir ini nampak tidak berimbang. Publik dapat dengan mudah menilai bahwa seolah-olah Metro TV adalah pemberitaan "pro Jokowi" dan begitu pula sebaliknya, tvOne "pro Prabowo". Beberapa hari yang lalu, ketika ada berita yang berbau "mendiskreditkan JK" dimana muncul Video yang diunggah di Youtube tentang pernyataan JK bahwa negara akan kacau jika dipimpin oleh Jokowi, TVone nampak begitu bersemangat memberitakannya pada petang hari 25 Mei 2014. Sementara Metro TV pun malamnya tidak mau kalah dengan memberitakan klarifikasi bahwa kritik itu disampaikan JK ketika Jokowi baru beberapa bulan memimpin Ibukota. Kalau sekarang sudah lain ceritanya.. begitulah kira-kira isi berita klarifikasi tersebut.
Ya.. Inilah Pilpres “
Sudden Death” 2014. Seringkali rakyat disuguhi drama yang seru.. menegangkan.. dan kadang juga lucu. Tetapi satu yang pasti, harapan kita semua, bahwa
siapapun yang terpilih memimpin negeri ini 5 tahun kedepan, mudah-mudahan akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Amien..